Selasa, 12 Januari 2010

Materi OCD

BAB I

PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI
Perubahan tidak dapat dielakkan dalam kehidupan manusia. Perubahan mulai disadari menjadi bagian yang penting dari suatu organisasi diawali sejak adanya organisasi sebagi suatu ilmu dan terapan . Dimulai oleh dunia usaha yang lebih dahulu menyadari pentingnya perubahan bagi peningkatan kualitas produksi yang dihasilkan. 
  Perubahan adalah suatu keniscayaan, bahkan dapat dikatakan bahwa tiada sesuatu di dunia ini yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. karena perubahan itu bersifat universal, sehingga perubahan akan selalu terjadi dimana saja dan kapan saja di dunia ini .Dengan demikian semua organisasi harus berubah karena adanya tekanan dari lingkungan internal maupun eksternal. Walaupun perubahan yang terjadi lebih pada lingkungan, namun pada umumnya menuntut perubahan lebih pada organisasional, dan organisasi bisa melakukan lebih banyak perubahan ataupun lebih sedikit. Organisasi bisa merubah tujuan dan strategi-strategi, teknologi, desain pekerjaan, struktur, prose, dan Sumber Daya Manusia ( SDM ) . Perubahan-perubahan pada SDM senantiasa mendampingi perubahan-perubahan pada faktor-faktor yang lain.
  Tidak ada definisi yang secara eksplisit memberikan pengertian tentang Perubahan Organisasi. Namun secara umum dapat didefinisikan bahwa “ Perubahan organisasi adalah proses organisasional yang terjadi sebagai respon akibat adanya berbagai perubahan lingkungan “. Dari pengertian tersebut dapatlah difahami bahwa perubahan adalah suatu peroses yang terjadi dalam organisasi yang bersifat kontinyu yang merupakan respon atau reaksi dari adanya perubahan lingkungan organisasi baik lingkungan internal organisasi maupun eksternal organisasi.
Sedangkan “Manajemen Perubahan Organisasi adalah upaya yang dilakukan untuk mengelola perubahan organisasi serta akibat-akibat yang ditimbulkan karena terjadinya perubahan lingkungan organisasi, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi tersebut”
  Menurut Robbins (1993), struktur dan proses organisasi adalah tidak tetap, melainkan akan berubah secara terus menerus dalam kegiatan yang lebih luas. Perubahan tersebut merupakan sesuatu yang umum dan terjadi secara kontinyu pada semua organisasi. Sebagai suatu sistem yang terbuka, organisasi harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi, baik di dalam organisasi maupun di luar lingkungan organisasi.
 Selanjutnya Robbins (1993) menjelaskan bahwa, faktor utama yang dijadikan alasan untuk melakukan perubahan didalam organisasi adalah lingkungan eksternal yang selalu berubah dan dinamis. Organisasi selalu berhadapan dengan lingkungan eksternal yang sangat dinamis sehingga akan mendorong organisasi untuk berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan¬-perubahan tersebut.
 Dengan adanya dinamika lingkungan eksternal maka organisasi harus melakukan perubahan-perubahan internal secara kontinyu karena lingkungan eksternal tidak dapat dikontrol sehingga organisasi dapat secara efektif menghadapi tantangan-tantangan yang timbul sebagai akibat meningkatnya dinamika perubahan tersebut , diantaranya persaingan secara umum, berkembangnya inovasi tehnologi, pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah, perubahan ekonomi dan berbagai tekanan permintaan sosial seperti semakin banyaknya jumlah wanita bekerja, semakin besar jumlah angkatan kerja, serta perubahan pilihan dan kebutuhan manusia menyebabkan organisasi harus terus menerus melakukan perubahan (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1982)
 Respon organisasi terhadap berbagai tekanan lingkungan eksternal dapat bersifat reaktif dimana perubahan dilakukan sebagai reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak dapat diantisipasinya, dan bersifat proaktif, dimana perubahan dilakukan sebagai antisipasi terhadap peristiwa yang akan terjadi dimasa yang akan datang.
 Perubahan organisasi meliputi beberapa macam modifikasi komponen-komponen yang penting didalam organisasi. Menurut Schermerhom, et.al (1985), perubahan dapat terjadi pada misi dan tujuan organisasi, strategi, tugas, adanya perkembangan tehnologi, perubahan perilaku individu dan perubahan struktur organisasi. Sebagian besar perubahan organisasi yang terencana akan mencakup lebih dari satu target-target tersebut diatas.
 Selanjutnya Schermerhom berpendapat bahwa perubahan tugas yang mendasar di dalam organisasi dapat berupa perubahan desain pekerjaan (Job desaign) dan perubahan tugas pekerjaan. Perubahan tugas ini kemungkinan diikuti dengan perubahan teknologi yang digunakan dalam pekerjaan. Perubahan pemakaian teknologi dapat berupa perbaikan alat dan fasilitas, sistem dan prosedur pekerjaan. Perubahan tugas dan teknologi umumnya dilanjutkan dengan perubahan dalam struktur organisasi, termasuk perubahan pola wewenang dan dan tanggung jawab serta pola komunikasi yang sesuai dengan peran masing-masing anggotanya. Komponen perubahan yang sangat mendasar sebagai akibat dari perubahan tersebut di atas adalah perubahan perilaku para anggota organisasi tersebut, yang senantiasa akan menyesuaikan dengan kebutuhannya.
 Dalam mengelola perubahan teknologi, permasalahan yang sering terjadi terhadap sumber daya manusia adalah ketakutan karyawan akan perubahan, frustasi terhadap perubahan suasana kerja dan keberhasilan kerja. Hal tersebut merupakan elemen-elemen yang dapat menciptakan ketegangan akibat perubahan teknologi (techno-stress) yang mengakibatkan karyawan enggan menyesuaikan diri terhadap perubahan teknologi (S.Reksohadiprodjo dan T.Handoko, 1982)
  Perubahan itu sendiri dapat bermacam-macam bentuk dan sumbernya serta dampaknya, baik yang dapat diramalkan ataupun yang tidak ( Delavigne & Robertson, 1994 ), sebagaimana dikutip oleh Wustari ( 2001 ) . Reaksi dalam menghadapi perubahan, baik yang bersifat tak terkontrol maupun yang direncanakan juga bermacam-macam. Sekelompok orang yang merasa terancam kedudukan mereka dengan adanya perubahan tentu saja akan berusaha mempertahankan setatus yang dimiliki dan dinikmatinya dan berusaha menolak perubahan tersebut. Orang takut bahwa dengan adanya perubhan perlu dibuat aturan atau norma baru. Penyesuaian terhadap aturan tersebut sering membutuhkan waktu yang lama dan sulit dilaksanakan. Dengan adanya perubahan kemungkinan juga kemandirian seseorang atau kelompok dalam organisasi akan berkurang, sehingga seseorang lebih menyukai untuk mempertahankan status quo dan keseimbangan kekuatan yang ada pada saat ini. 
  Jelaslah bahwa perubahan akan mempengaruhi setiap orang secara tidak sama. Semakin banyak perbedaan yang melekat pada diri setiap orang, semakin sulit perubahan itu dilakukan, karena hal tersebut akan menimbulkan penolakan baik secara individu maupun kelompok. Untuk itu, proses perubahan serta reaksinya perlu dipahami sehingga dapat memiliki kesiapan menghadapi perubahan tersebut. Kesiapan ini tidak hanya harus dimilki oleh organisasi, tetapi juga oleh sumber daya manusianya karena sikap dan reaksi sumber daya manusia terhadap perubahan sangat mempengaruhi efektivitas perubahan, baik bagi individu itu sendiri maupun bagi organisasi. Disamping itu perhatian terhadap sumber daya manusia harus selalu diberikan karena dalam suatu organisasi, sumber daya manusialah yang dapat membuat terjadinya suatu perubahan dan hanya sumber daya manusialah yang dapat mempengaruhi sukses atau tidaknya suatu perubahan dalam organisasi.
Meskipun perubahan adalah suatu kejadian yang universal dan tidak dapat dihindarkan, namun tidak serta merta perubahan itu terjadi dengan lancar. Penolakan terhadap perubahan ( resistance to change ) adalah suatu hal yang sering terjadi dan bersifat alamiah. Stephen Kerr & Elaine B. Kerr ( 1972 ) berpendapat sebagaimana dikutip oleh Sukanto ( 1990 ) bahwa penolakan itu mungkin diakibatkan oleh bermacam-macam alasan, seperti vested interest, salah pengertian, norma kelompok, keseimbangan kekuatan dan berbagai perbedaan baik nilai, tujuan dan sebagainya.
  Untuk itu perlu kiranya mengetahui secara lebih detail apakah perubahan organisasi itu, bagaimana sifat dan jenis perubahan, apa yang menjadi sumber-sumber perubahan, bagaimana prinsip dan langkah-langkanya, apa saja kendala dan hambatannya, bagaimana sikap dalam menghadapi perubahan, mengapa terjadi penolakan perubahan dan bagaimana menangani penolakan tersebut agar tidak berdampak negatif tarhadap organisasi.










 









BAB II

SIFAT DAN JENIS PERUBAHAN ORGANISASI

A. SIFAT PERUBAHAN
  Untuk memahami suatu proses perubahan, perlu diketahui terlebih dahulu beberapa sifat yang mendasari perubahan tersebut . Sifat dari perubahan organisasi menurut Smith ( 1996 ) yang dikutip oleh Wustari ( 2001 ) adalah sebagai berikut :
1. Perubahan adalah suatu hal yang bersifat universal.
2. Perubahan dapat bersifat tidak terlihat (implisit ) ataupun terlihat ( eksplisit )
3. Perubahan adalah suatu proses dalam ruang lingkup organisasi 
4. Dalam proses perubahan organisasi biasanya akan terjadi pula perubahan paradigma organisasi
5. Perubahan bisa terjadi baik secara cepat maupun secara lambat
6. Dengan kualitas sumber daya manusia perubahan akan berhasil.
7. Perubahan dapaT bersifat membangun ( konstruktif ) maupun bersifat merusak 
  ( destruktif ).

B. JENIS PERUBAHAN  
  Sedangkan Galpin ( 1996 ) menyatakan bahwa terdapat beberapa jenis perubahan organisasi yaitu ;
1. Perubahan Rutin
  Yaitu perubahan organisasi yang telah direncanakan dan menjadi prosedur organisasi. Perubahan ini bersifat reguler dan sistematis, yang pada umumnya berhubungan dengan pekerjaan ,produksi dan oprasi . Karena perubahan ini terjadi secara periodik, maka anggota organisasi dapat dengan mudah mengantisipasi dan mengikutinya. Perubahan jenis ini sering disebut juga sebagai perubahan terkontrol
  Untuk mengetahui apakah perubahan itu merupakan perubahan rutin maka dapat melalui jawaban pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah perubahan itu bersifat siklis ?
2. Apakah para karyawan mengantisipasi perubahan ini ?
3. Apakah perubahan itu berarti terjadi pergerakan dari rutinitas ke lainnya ?
 Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi perubahan rutin

2. Perubahan Pengembangan
  Yaitu perubah organisasi yang bertujuan untuk memberikan keuntungan atau nilai lebih dari apa yang biasanya dilakukan oleh organisasi. Pada dasarnya perubahan-perubahan ini dibuat di atas prosedur dan aktivitas yang telah ada dan biasanya merupakan koreksi terhadap kebijakan atau prosedur yang telah dibuat sebelumnya. Disinilah biasanya anggota organisasi merasa terancam dengan adanya perubahan ini.
  Untuk mengetahui apakah perubahan itu merupakan perubahan pengembangan maka dapat melalui jawaban pertanyaan sebagai berikut :
1. Akankah perubahan tersebut memberikan jalan yang lebih baik dalam pelaksanaan aktivitas saat ini ?
2. Apakah perubahan mempertinggi intensitas kegiatan yang ada ?
Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi perubahan pengembangan

3. Perubahan Inovasi
  Jenis peruahan organisasi ini menuntut adanya pemikiran tentang bagaimana berprilaku dan mengubah pola kerja untuk masa depan organisasi serta mengantisipasi berbagai masalah yang diperkirakan timbul dalam organisasi .
  Untuk mengetahui apakah perubahan itu merupakan perubahan pengembangan maka dapat melalui jawaban pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah perubahan merupakan pendekatan baru secara keseluruhan atau sebuah ide untuk organisasi ?
2. Apakah perubahan tersebut memerlukan pemikiran ulang dari prosedur-prosedur organisasi saat ini ?
Jika jawabannya “ya”, berarti terjadi sebuah perubahan inovatif
  Tidak ada satupun pendekatan jenis perubahan yang baku untuk Manajemen Perubahan Organisasi. Jenis-jenis perubahan organisasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing situasi di dalam organisasi tersebut sesuai dengan tantangan lingkungan yang dihadapi. 





C. PRINSIP DALAM MELAKUKAN PERUBAHAN ORGANISASI

Firth ( 1999 ) menyatakan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam melakukan perubahan organisasi, yaitu :
1. Perubahan tersebut benar-benar dibutuhkan
Perubahan bukan hanya merupakan pilihan ataupun keinginan, tetapi perubahan merupakan suatu kebutuhan karena memang harus dilakukan demi keberlangsungan organisasi.
2. Adanya penanggung jawab.
Dalam melakukan perubahan harus ada orang yang harus bertanggung jawab dalam proses perubahan tersebut sejak dari merencanakan hingga mengevaluasi perubahan tersebut.
3. Harus realistis
Perubahan organisasi hendaknya tidak mengada-adan dan sesuai dengan realitas keadaan sehingga tidak menimbulkan persoalan di dalam organisasi.
4. Harus mengetahui kendala yang dihadapi.
Kendala – kendala yang mungkin terjadi dalam proses perubahan harus diketahui dan difahami untuk kemudian berusaha untuk diatasi sehingga proses perubahan tidak berakibat pada kinerja dan produktivitas organisasi.
5. Harus memiliki sikap positif.
Hal ini penting sehingga terjadinya perubahan merupakan hasil pikiran dan ide yang jernih, dan dari pikiran-pikiran yang positif ( positive thinking )
6. Harus optimis
Hal ini penting sehingga tidak terjadi keragu-raguan dalam proses perubahan, sehingga timbul keyakinan bahwa dengan adanya perubahan akan menjadikan masa depan organisasi akan lebih baik dibandingkan waktu-waktu yang lalu.
7. Harus kontinyu / berkesinambungan
Perubahan organisasi hendaklah dilakukan secara kontinyu / berkesinambungan, karena bahawa perubahan lingkungan juga akan terus berubah, maka perubahan harus pula berkesinambungan dan runtut sehingga organisasi akan secara efektif merespon perubahan lingkungan


BAB III

SUMBER-SUMBER PERUBAHAN ORGANISASI

  Meskipun dikatakan bahwa perubahan adalah suatu keniscayaan, tetapi setiap perubahan memiliki sumber perubahan , baik yang berasal dari faktor eksternal organisasi maupun dari faktor internal organisasi 
Perubahan lingkungan organisasi baik eksternal maupun internal adalah suatu keniscayaan, sejak dahulu hingga sekarang. Namun di masa sekarang, kecepatan dan intensitas perubahan lingkungan tersebut pada umumnya berlangsung begitu cepat, penuh dinamika dan turbulensi. Bahkan, seringkali bersifat diskontinyu sehingga bukan saja menyulitkan, tetapi dapat mengancam keberlangsungan hidup suatu organisasi. 
Jelaslah, perubahan lingkungan (environmental change) akan mengakibatkan tekanan pada organisasi untuk melakukan perubahan organisasional (organizational change). Di tengah kuatnya arus perubahan lingkungan, tanpa perubahan diri secara tepat dan signifikan organisasi tersebut niscaya akan mengalami kesulitan, bahkan akan mati terleliminasi oleh perubahan lingkungan
George dan Jones (2002) menyebutkan sejumlah faktor lingkungan eksternal yang mendorong perubahan, yakni kekuatan kompetisi, kekuatan ekonomi, kekuatan politik, kekuatan globalisasi, kekuatan sosial-demografik, dan kekuatan budaya dan etika. Dewasa ini persaingan dalam dunia bisnis berlangsung semakin sengit. Dinamika ekonomi dan politik nasional, regional maupun global bergerak sangat fluktuatif dan penuh kejutan. Globalisasi ekonomi dan budaya yang dipicu oleh perkembangan pesat teknologi informasi dan transportasi telah menyebabkan dunia ini bagaikan desa global (global village). Perubahan struktur demografik dan sosial berlangsung secara sangat signifikan. Dan di tengah semua itu mencuat pula di sana-sini kesadaran etik masyarakat yang menuntut ditegakkannya perilaku etis dalam dunia kerja, bisnis, dan politik.  
Sementara, pada lingkungan internal organisasi, perubahan-perubahan yang terjadi pada nilai-nilai, etos kerja, kompetensi maupun aspirasi karyawan juga mengharuskan respons organisasional yang tepat. Makin tingginya tingkat pendidikan rata-rata karyawan, misalnya, akan menyebabkan meningkatnya aspirasi dan tuntutan mereka dalam bekerja. Mereka pada umumnya mengharapkan perlakuan kerja yang lebih manusiawi, peluang aktualisasi diri yang lebih besar, suasana kerja yang lebih menyenangkan, cara kerja yang lebih fleksibel, pemberian reward yang lebih adil dan lebih motivatif, kesempatan karir yang lebih terbuka, dan sebagainya.
Sementara menurut Heifetz, 1995 . :Sumber-sumber perubahan tersebut antara lain berasal dari :
1. Lingkungan di luar Organisasi ( Lingkungan Ekasternal ), biasanya berupa:
a. Kondisi perekonomian baik skala lokal, nasional, regional dan Internasional.
b. Nilai-nilai politik., sosial, etika dan budaya di masyarakat
c. Perubahan kondisi pasar dan konsumen
d. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
e. Adanya peraturan dan undang-undang yang baru.
  Perubahan lingkungan terjadi begitu cepat sehingga memberikan tekanan pada organisasi untuk merubah tujuan, strategi, kebijaksanaan, dan struktur organisasi.
2. Lingkungan di dalam Organisasi ( Lingkungan Internal ), biasanya berupa :
a. Adanya visi, misi, paradigma dan filosofi baru didalam organisasi
b. Adanya strategi organisasi yang baru
c. Adanya redefinisi core bisnis ataupun kegiatan utama organisasi
d. Adanya restrukturisasi dan re engineering organisasi
e. Kondisi sumber daya manusia dalam organisasi
f. Perubahan budaya organisasi.
  Berbagai kondisi lingkungan tersebut dapat menjadi penekan ( Pressures ) terhadap perubahan. Dalam hal ini baik perubahan yang diakibatkan adanya tekanan dari luar organisasi maupun dari dalam organisasi akan tetap mendorong tercapainya target perubahan melalui suatu proses dan prinsip maupun langkah-langkah yang mengefektifkan pelaksanaan perubahan organisasi. Hal tersebut perlu dilakukan secara individual maupun organisasional agar perubahan- perubahan tersebut dapat dikelola dengan efektif pula. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan pada bagan sebagai berikut :






Gambar : 1
PENGARUH TEKANAN LINGKUNGAN 
TERHADAP PERUBAHAN ORGANISASI










Sumber : Henry L. Tossi, Managing Organizational Behavior, hal. 674

 Gambar diatas menjelaskan bahwa target / sasaran dari suatu perubahan organisasi dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan eksternal, baik eksternal yang bersifat langsung / lingkungan eksternal mikro / Primary Stakeholder maupun yang bersifat tidak langsung / lingkungan eksternal makro / Scondary Stakeholder bahkan bisa jadi dipengaruhi oleh lingkungan Global. Selain itu Perubahan Organisasi juga dipengaruhi oleh tekanan-tekanan lingkungan internal, baik itu dari pemilik (owners ) , pemegang saham, manajemen, maupun para anggota organisasi. 
 Target / sasaran organisasi akan mempengaruhi bagaimana efektifitas implementasi perubahan organisasi tersebut, bagaimana strategi-strategi perubahan harus dilakukan, bagaimana mengoptimalkan hasil-hasil perubahan organisasi , bagaimana mengantisipasi semua hambatan dan reaksi penolakan terhadap perubahan  
 Pada akhirnya efektifitas implementasi perubahan organisasi akan berdampak pada efektifitas perilaku individu ( personal behavior ) dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di dalam organisasi dan juga akan berdampak pula pada efektifitas perilaku organisasi ( organizational behavior ) dalam menjalankan mekanisme kerja organisasi sehingga organisasi secara efektif mewujudkan visi, misi, sasaran dan tujuan organisasi secara keseluruhan.


BAB IV

TAHAPAN , PENDEKATAN DAN STRATEGI
MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI

A. TAHAPAN MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI

Suatu manajemen perubahan terjadi melalui beberapa tahap.Tahap-tahap manajemen perubahan ada empat, yaitu:
Tahap 1, tahap identifikasi perubahan, 
  Pada tahap ini diharapkan seseorang dapat mengenal perubahan apa yang akan dilakukan / terjadi. Dalam tahap ini pimpinan organisasi sebagai agen perubah
 ( agent of change ) harus mengenal kebutuhan perubahan dan mengidentifikasi tipe perubahan.
Tahap 2, tahap perencanaan perubahan.  
  Pada tahap ini harus dianalisis mengenai diagnostik situasional tehnik, pemilihan strategi umum, dan pemilihanstrategi khusus. Dalam proses ini perlu dipertimbangkan adanya faktor pendukung sehingga perubahan dapat terjadi dengan baik.  
Tahap 3, tahap implementasi perubahan 
  Pada tahap ini dimana terjadi proses pencairan, perubahan dan pembekuan yang diharapkan. Apabila suatu perubahan sedang terjadi kemungkinan timbul masalah. Untuk itu perlu dilakukan monitoring perubahan.
Tahap 4, tahap evaluasi dan umpan balik.  
  Untuk melakukan evaluaasi diperlukan data, oleh karena itu dalam tahap ini dilakukan pengumpulan data dan evaluasi data tersebut. Hasil evaluasi ini dapat di umpan balik kepada tahap ke satu sehingga memberi dampak pada perubahan yang diinginkan berikutnya.
 Tahapan ini bersifta siklis artinya setelah selesai pada tahap ke empat akan berulang secara periodik kembali ke tahap ke satu demikian seterusnya hingga seluruh tahapan proses perubahan akan terus berlangsung hingga tujuan-tujuan dari suatu perubahan organisasi akan dapat direalisasikan dengan baik. Dengan demikian organisasi akan tetap eksis ditengah-tengah perubahan lingkungan yang terus terjadi dari waktu-ke waktu .Secara sistematis tahapan tersebut dapat dijelaskan pada gambar berikut :






  Dorongan internal Dorongan eksternal








  Pendukung



   





  Umpan Balik  








Sedangkan Heifettz ( 1995 ) mengemukakan bahwa tahapan perubahan yang yang harus ditempuh adalah sebagai berikut : 
Pertama : Mengidentifikasi kebutuhan untuk berubah,
 Apakah organisasi butuh perubahan secara menyeluruh atau pada bagian-bagian tertentu saja?, apakah kebutuhan perubahan organisasi itu bersifat organisasional atau individual. Hal ini merupakan hal yang penting dan pertama harus dilakukan sehingga perubahan yang dilakukan akan sesuai dengantarget dan tujuan yang dikehendaki. 
Kedua, Memilih target dan menentukan tujuan . 
Hal ini sangat penting dilakukan karena ketidak jelasantarget dan tujuan akan mengakibatkan ketidak jelasan proses perubahan organisasi dan semua hasil yang hendak dicapai. Target dan tujuan yang jelas akan dapat mengarahkan proses perubahan serta mengarahkan sseluruh sumber daya dan memberikan suatu gambaran untuk melakukan langkah-langkah perubahan serta dalam menyelasaikan masalah yang timbul dalam proses perubahan organisasi 
Ketiga, Menyadari konteks organisasi.
 Kesadaran akan berbagai kejadian di lingkungan sekitar organisasi merupakan hal yang penting untuk menentukan visi manajemen dan organisasi dimasa yang akan datang. Dalam hal ini seluruh komponen dalam organisasi harus berubah dalam kerangka mekanisme organisasiDalam hal ini perlu fleksibilitas dalam perubahan organisasi. 
Keempat, Merencanakan perubahan. 
Perencanaan harus dilakukan dengan baik , karena gagal dalam membuat perencanaan berarti telah merencanakan kegagalan. Hal ini dilakukan dengan cara meningkatkan kemampuan seluruh komponen organisasi dalam menganalisis seluruh kondisi organisasi secara keseluruhan. 
Kelima, Mengimplementasikan perubahan. 
Setelah melakukan perencanaan langkah berikutnya adalah mengimplementasikan perubahan, yaitu merubah prilaku, dan sikap seluruh pelaku dalam organisasi sehingga sesuai dengan apa yang didinginkan. Kemudian memelihara kesadaran individu untuk membantu mengetahui perkembangan proses perubahan organisasi dan akhirnya bekerja sesuai dengan rencana untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Keenam, Mengevaluasi hasil, 
Langkah terakhir dari suatu perubahan organisasi adalah mengevaluasi hasil yang dicapai dari proses perubahan tersebut dalam waktu tertentu dan secara kontinyu / berkesinambungan
B. PENDEKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI

Pendekatan klasik yang dikemukaan oleh Kurt Lewin mencakup tiga langkah. Pertama : UNFREEZING the status quo, lalu MOVEMENT to the new state, dan ketiga REFREEZING the new change to make it pemanent. Kalau digambarkan modelnya menjadi seperti di bawah ini.
Gambar 3 :
PENDEKATAN MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI




  Restraining Forces


  Desire
  State REFREEZING



  MOVEMENT


   
  Status Quo  
  UNFREEZING
  Driving Forces

  Time  
  Selama proses perubahan terjadi terdapat kekuatan-kekuatan yang mendukung dan yang menolak . Melalui pendekatan yang dikemukakan oleh Kurt Lewin, kekuatan pendukung akan semakin banyak dan kekuatan penolak akan semakin sedikit. Pendekatan tersebut adalah :
1. Unfreezing : Upaya-upaya untuk mengatasi tekanan-tekanan dari kelompok penentang dan pendukung perubahan. Status quo dicairkan, biasanya kondisi yang sekarang berlangsung (status quo) diguncang sehingga orang merasa kurang nyaman.
2. Movement : Secara bertahap (step by step) tapi pasti, perubahan dilakukan. Jumlah penentang perubahan berkurang dan jumlah pendukung bertambah. Untuk mencapainya, hasil-hasil perubahan harus segera dirasakan.
3. Refreezing : Jika kondisi yang diinginkan telah tercapai, stabilkan melalui aturan-aturan baru, sistem kompensasi baru, dan cara pengelolaan organisasi yang baru lainnya. Jika berhasil maka jumlah penentang akan sangat berkurang, sedangkan jumlah pendudung makin bertambah.
Harold J.Leavitt menyatakan bahwa organisasi dapat diubah melalui pengubahanstruktur,teknologi,danorang-orangnya.
1.PendekatanStruktur
  Pengubahan struktur organisasi menyangkut modifikasi dan pengaturan sistem internal, seperti acuan kerja, ukuran dan komposisi kelompok kerja, sistem komunikasi, hubungan-hubungan tanggung jawab atau wewenang. Pendekatan struktural dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari : :
a. Melalui aplikasi prinsip-prinsip perancangan organisai klasik. Pendekatan ini berusaha untuk memperbaiki penciptaan pembagian kerja yang tepat dari tanggung jawab jabatan para anggota organisasi, pengubahan rentang manajemen,deskripsijabatandansebagainya.
b. Desentralisasi.. Hal ini didasarkan pada penciptaan satuan-satuan organisasi yang lebih kecil dan dapat berdiri sendiri dan memutuskan perhatian pada kegiatan yang berorientasi tinggi. Hasilnya perbaikan prestasi kerja. 
c. Modifikasi aliran kerja dalam organisasi. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa aliran kerja dan pengelompokan keahlian yang tepat akan berakibat kenaikan produktifitas secara langsung dan cenderung memperbaiki semangat dan kepuasan kerja. 

2.PendekatanTeknologi
  Untuk mremperbaiki prestasi F.W. Taylor dan pengikutnya mencoba menganalisa dan memperbaiki interaksi-interaksi pada karyawan dan mesin-mesin untuk meningkatkan efisiensi sehubungan dengan perubahan teknologi adakalanya perubahan yang dilakukan ternyata sering tidak cocok dengan struktur organisasi. Hal ini dapat menciptakan ketidak senangan dan pemutusan hubungan diantara para anggota organisasi akibanya terjadi penurunan produktifitas lebih banyak kecelakaan dan tingkat perputaran karyawan yang tinggi.

3.PendekatanOrang
  Pendekatan orang bermaksud untuk mengubah secara langsung perilaku karyawan melalui pemusatan pada keterampilan sikap, prsepsi dan pengharapan mereka,sehinggadapatmelaksanakantugasdenganefektif. 

C. STRATEGI MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI
 Perubahan organisasi ini akan sulit untuk diketahui bila tanpa melihat sebeberapa detail mengenai apa yang menjadi isu perubahan organisasi. Menurut Shaun Tyson dan Tony Jackson (2000), bahwa sebagian isu mengenai perubahan organisasi adalah jika organisasi dianggap tidak efektif dalam beberapa hal, maka dengan sederhana di sana ada kebutuhan untuk melakukan perubahan. Akan tetapi, kenyataan menunjukan bahwa sungguh sering ketidak-efektifan dalam suatu organisasi membawa kesulitan yang lebih besar dalam menciptakan kemungkinan terjadinya perubahan.
 Perubahan organisasi tersebut akan efektif bila memiliki strategi. Strategi perubahan merupakan hal yang sangat penting dan harus ada. Bahkan strategi yang diusulkan tersebut harus dianggap obyektif. Organisasi yang secara sungguh-sungguh melakukan suatu rencana untuk menghasilkan perubahan harus memperhatikan kriteria strategi yang efektif. Jenis kriteria strategi yang efektif yang sering digunakan adalah:
a. Pengarahan: menetapkan tujuan, perencanaan jangka panjang dan jangka pendek, kewira-usahaan dan investasi yang dapat dipercaya oleh organisasi, merencanakan struktur organisasi yang tepat, dan memelihara citra positif organisasi.
b.Delegasi: motivasi dengan mendorong diambilnya keputusan yang dipertimbangkan dengan baik yang mengarah kepada tindakan (wewenang yang diperlukan untuk melaksanakan tanggung jawabnya).
c. Pertanggung-jawaban: pengertian yang jelas mengenai job diskripsinya masing-masing. Hal ini dapat diketahui dan sejauh mana atasan memahami bahwa pertanggung-jawaban dilaksanakan dalam rangka mencapai tuuan.
d. Pengendalian: mengawasi kinerja yang tidak sesuai dengan tujuan standar, merupakan salah satu pengukuran terhadap perilaku atau norma yang dimiliki oleh pegawai dalam menerima perubaban tersebut.
e. Efisiensi: penggunaan optimum dari sumber daya dan pencapaian terhadap tingkat output yang direncanakan dengan biaya minimum. Hal ini ditunjukan dengan adanya rasio input-output.
f. Koordinasi: mengintegrasikan aktivitas dan kontribusi dan bagian-bagian yang berlainan dalam suatu organisasi. Ditunjukan dengan adanya hubungan yang saling mendukung diantara unit-unit yang saling tergantung.
g. Adaptasi: kemampuan untuk menganggapi perubahan lingkungan, kecakapan untuk membuat menovasi dalam memecahkan masalah.
h. Sistem sosial dan harapan individu: memelihara sistem sosial, hubungan dan
  keadaan tenaga kerja supaya organisasi mendapat komitmen dan karyawannya

D. ELEMEN YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MELAKUKAN PERUBAHAN ORGANISASI
Kinerja organisasi terdiri dari keseluruhan rangkaian elemen yang dalam beberapa cara harus diintegrasikan. Kinerja ditentukan dengan mencapai atau melebihi sasaran yang telah ditetapkan oleh organisasi, dan juga sasaran dan tanggungjawab sosial. Perubahan suatu organisasi tentu akan mempengaruhi juga kinerja dari para anggotanya, karena perubahan merupakan suaru proses jangka panjang
  Untuk melakukan perubahan dalam menggapai competitive advantage, Handry menjelaskan bahwa organisasi harus terlebih dahulu melakukan assessment terhadap lima elemen yang ada di internal organisasi yaitu :
1. Waktu. atau ”Which is time to change. Dia harus tahu kapan harus berubah dan seberapa cepat dia harus berubah. Karena seringkali organisasi gagal melakukan perubahan hanya karena waktu yang tidak tepat 
 2. Visi atau which is where to change. Berubahnya mau kemana dan akan menjadi seperti apa organisasi untuk waktu yang akan datang, kearah mana gerak perubahanya. Dan visi itu bisa dibagi-bagi milestone-nya. Misalnya 2 tahun lagi begini, 5 tahun lagi, 10 tahun lagi bagaimana, itu harus jelas arah perubahannya.”
 3. Strategy atau what to change. Menurut Handry, dalam menjalankan strategi ini apa yang mau diubah dari sekian banyak hal. Prioritas mana yang harus didahulukan : strategi marketing, organisasi, HR system, financial. Pimpinan Organisasi harus punya strategi yang jelas, dan seberapa jauh akan dilakukan perubahan. 
4. Kepemimpinan atau leadership. Dalam hal ini yang harus diperhatikan adalah how to become a change agent. Karena tak bisa dipungkiri bahwa untuk mencapai competitive advantage, sebuah organisasi harus punya leader yang kuat. ”Jadi leader seperti apa yang dibutuhkan untuk bisa mengubah organisasi ini? Dia harus memiliki energi, dia punya semangat, visi, dia mampu mengenergikan orang lain, punya kemampuan untuk mengambil keputusan .Pimpinan organisasi harus mampu menjadi change of agent.
5. Penerimaan oleh anggota organisasi atau people acceptance yaitu bagaimana membuat orang-orang yang ada di organisasi tersebut mau menerima terhadap perubahan yang dilakukan. Hal ini bagian yang paling berat . Karena kalau strategi bisa dipelajari, bisa mencontoh dari organisasi lain, leader kalau nggak kuat bisa mencari dari tempat lain, waktu juga bisa atur. Tapi people acceptance, ini adalah masalah budaya. Pimpinan harus tahu apakah perubahan yang mau dia lakukan bisa di terimaoleh orang yang ada di dalam organisasi tersebut
 Selain itu menurut Shaun Tyson dan Tony Jackson (2000), perubahan merupakan suatu proses jangka panjang yang berkelanjutan. Dimana perubahan organisasi yang substansial memerlukan paling sedikit enam elemen sebagai berikut:
a. Tekanan dan manajemen puncak untuk mengenali kebutuhan-kebutuhan perubahan.
  Tekanan ini mungkin timbul dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung
  adanya perubahan.
b. Intervensi dan pihak luar. Keadaan seperti ini harus mampu memberikan beberapa perspektif dan membantu manajemen puncak untuk mengenali masalah-masalah yang muncul.
c. Mendiagnosis dan mengenal bidang masalah yang ada pada berbagai tingkat level manajemen.
d. Perlu menemukan pemecahan yang kreatif, seperti halnya komitien terhadap rangkaian tindakan yang akan muncul.
e. Eksperimentasi diperlukan untuk membangun kelangsungan perubahan di berbagai tingkat dengan kegiatan-kegiatan kecil sebelum perubahan skala besar diperkenalkan.
f. Reinforcement (penguatan) terhadap hasil yang positif penting bagi kelangsungan perubahan total dan tindakan-tindakan selanjutnya.penguatan ini akan menimbulkan diterimanya praktek-praktek baru sebagai hasil dan usaha bersama dan sebagai reward positif yang diperoleh dari usaha tersebut.






















BAB V

SIKAP DAN REAKSI
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN ORGANISASI

A. SIKAP DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN ORGANISASI

  Dalam menghadapi perubahan organisasi , setiap individu memiliki sikap dan reaksi yang berbeda-beda dan hal; ini mewarnai sikap serta perilaku yang ditampakkan dalam menghadapi perubahan serta berdampak pada efektivitas perubahan organisasi. Untuk itu Eales -White ( 1994 ) membedakan sikap individu dalam menghadapi perubahan organisasi ke dalam empat katagori yaitu Logika Rasional, Kontrol Negatif, Fokus terhadap manusia, Positif dan Kreatif. Keempat sikap tersebut tergambar pada diagram sebagai berikut :

Gambar 4
KATAGORI SIKAP INDIVIDU 
DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN ORGANISASI

  Intelektual


  Emosional  
   
Keterangan : 
LK = Logika dan Rasional PK = Positif dan Kreatif
KN = Kontrol Negatif FM = Fokus terhadap Manusia
  Eales – White ( 1994 ) menyatakan bahwa dari empat jenis sikap individu dalam menghadapi perubahan, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut :
1. Logika Rasional ( LR ) : Biasanya berciri, tidak emosional, terfokus pada logika dan rasional, tertarik pada fakta dan implementasi, terfokus pada analisis peristiwa dan implikasinya, cenderung mengevaluasi dan mencari jawaban.
2. Kontrol Negatif ( KN ) : Biasanya berciri , emosional, berfikir dan bersikap negatif, orientasi pada diri sendiri, ingin tetap tetap pada kondisi lama(status quo ) untuk mencari rasa aman, menolak adanya perubahan, melawan organisasi dan lingkungan, melawan dengan cara yang logis maupun tidak logis.
3. Fokus terhadap Manusia ( FM ) : biasanya berciri, menjajagi pengalaman perubahan, lebih bereaksi emosional dari pada intelektual, tidak terfokus pada diri sendiri tetapi lebih pada orang lain yang terpengaruh perubahan, kebutuhan emosional terpenuhi dengan cara bertukar pengalaman dengan orang lain, memperoleh dan memberikan dukungan bagi mereka yang terpengaruh akibat adanya perubahan.
4. Positif dan Kreatif ( PK ) : biasanya berciri, menikmati adanya perubahan, berani mengambil resiko, ingin berperan dalam perubahan dan masa yang akan datang, cenderung untuk terlibat secara emosional terhadap konsekwensi dari perubahan tersebut, baik pada diri sendiri maupun orang lain, lebih terfokus pada dinamika perubahan, memiliki banyak ide dan pertanyaan, melakukan penjajagan mengenai kemungkinan konsekwensi dari perubahan.

B. REAKSI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN ORGANISASI.
  Setiap perubahan pasti akan menimbulkan reaksi , baik reaksi positif maupun negatif, dan yang melakukan reaksi tersebut adalah manusia yang merupakan individu yang ada dalam lingkup organisasi tersebut. Menurut Smith ( 1996 ) hanya individulah yang dapat berubah yang kemudian akan berpemgaruh terhadap visi, misi tujuan, sistem, strategi, struktur, dan segala sesuatu yang ada dalam organisasi. Menurut Galpin ( 1996 ) reaksi seseorang dalam menghadpi perubahan dapat terbagi menjadi dua yaitu :
1. Reaksi efektif dalam menghadapi perubahan , hal ini meliputi :
a. Memberikan bantuan dan dukungan terhadap perubahan tersebut
b. Meningkatkan kerja sama anta individu dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi
c. Mensosialisasikan situasi, kondisi dan proses perubahan dalam organisasi
d. Memunculkan masalah penolakan ke permukaan sehingga dapat segera diketahui
e. Menanggapi penolakan terhadap perubahan organisasi secara serius
f. Melibatkan mereka yang menolak untuk mencari solusi dalam proses perubahan organisasi
g. Melakukan negosiasi untuk mencari titik temu dalam menyelesaikan perbedaan sehingga timbul penolakan perubahan organisasi
2. Reaksi tidak efektif dalam menghadapi perubahan organisasi
a. Mempertahankin diri dan tidak mau melakukan perubahan sama sekali
b. Memberikan masukan yang tidak diperlukan untuk perubahan organisasi
c. Membujuk dengan informasi agar tidak terjadi perubahan organisasi
d. Tidak menyetujui, menolak dan memaksakan kehendaknya 

C. TRANSISI EMOSI DALAM PERUBAHAN ORGANISASI
Transisi emosi dalam perubahan organisasi akan memberikan penjelasan bahwa jika anggota organisasi memberikan dukungan yang cukup, mereka akan dapat menerima perubahan organisasi . Mereka tetap membutuhkan banyak dukungan untuk dapat menerima secara keseluruhan dan memahami perubahan organisasi tersebut ke setiap tindakan dan perilaku normal mereka sendiri.
Tanggung jawab terhadap pengelolaan perubahan organisasi / agent of change ini harus mempertimbangkan perasaan dan emosi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Jika hal ini diabaikan oleh pengelola perubahan organisasi dan tidak sensitif terhadap hal ini, perubahan organisasi tidak akan dapat terjadi sesuai rencana yang telah ditetapkan . Perubahan organisasi akan dapat menimbulkan resisten dan defensif dari seluruh anggota organisasi . Seseorang yang mengelola perubahan harus melakukan proses perubahan tersebut dengan tepat sehingga seluruh komponen dalam organisasi akan memberikan dukungan yang lebih efektif.
Dalam proses perubahan organisasi, seorang pengelola perubahan orgnaisasi harus berupaya untuk memulai perubahan terlebih dahulu pada dirinya sendiri. Sehingga terjadi suatu integritas pada dirinya. Dan perubahan ini akan mempengaruhi terjadinya perubahan kinerja dalam organisasi yang dipimpinnya.  
Gambar-gambar dibawah ini menunjukkan bagaimana proses perubahan tersebut terjadi, komponen apa saja yang perlu diperhatikan dalam diri individu bila ingin berubah, bagaimana orang luar terlibat dalam proses perubahan di suatu organisasi dan bagaimana pengelola perubahan organisasi tersebut mampu melakukan proses perubahan dengan tepat dalam rangka untuk mencapai tujuan organisasi.




Gambar 5 :
MENGELOLA EMOSI DALAM PROSES PERUBAHAN ORGANISASI




   


   
   






BAB VI

HAMBATAN DAN PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI

A. HAMBATAN PERUBAHAN ORGANISASI

Perubahan Organisasi pada umumnya tidak dapat berjalan dengan lancar, sering perubahan tersebut berhadapan dengan berbagai hambatan dan penolakan terhadap perubahan organisasi. Menurut Maurer ( 1996 ) perlu disadari bahwa hambatan dan penolakan itu merupakan bagian dari proses transisi dan pada umumnya tidak disadari dan ditambah dengan tidak ada atau kurangnya informasi. 
  Dalam perubahan organisasi sering terjadi berbagai hambatan. Menurut Wilson
 ( 1994 ) hambatan perubahan organisasi biasanya berhubungan dengan 
1). Sistem dan proses perubahan, karena sistem dan proses perubahan terkait dengan tujuan organisasi, struktur dan mekanisme kerja organisasi. Perubahan organisasi juga berhubungan dengan 
2). Sumber Daya Manusia, hal ini sangat berpengaruh pada efektivitas suatu perubahan karena pada dasarnya subyek maupun obeyek perubahan itu pada intinya terletak pada Sumber Daya Manusia. Selain itu perubahan organisasi akan berhubungan dengan 
3). Sistem dan lingkungan organisasi, hal ini menyangkut iklim dan budaya organisasi serta struktur, proses dan mekanisme organisasi

B. PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI
 Perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar manusia sering kali tidak disertai kesiapan manusia tersebut untuk dapat menerima dan mengikuti perubahan tersebut. Ketidaksiapan ini bisa menimbulkan sikap penolakan terhadap perubahan ataupun hal-hal baru. Sikap penolakan ini sangat umum terjadi di dalam lingkungan yang berhubungan dengan pekerjaan tempat dia bekerja. Sikap penolakan terhadap perubahan ataupun hal-hal yang baru terjadi didalam organisasi merupakan tanggapan emosional maupun perilaku terhadap ancaman baik yang nyata maupun yang dibayangkan oleh pegawai terhadap rutinitas kerja mereka.
 Menurut Robbins (1993), sikap penolakan terhadap perubahan menunjukan tingkat kestabilan dan perkiraan tingkah laku yang berhubungan dengan kebiasaan seseorang. Sikap penolakan terhadap perubahan tidak timbul dengan cara yang sama ataupun standar. Sikap penolakan ini dapat tampak jelas terlihat, muncul secara lengkap, muncul secara tiba-tiba, atau dapat tertunda yang kemudian akan muncul dikemudian hari. Akibat penolakan terhadap perubahan ini mungkin saja dapat secara cepat mendapat tanggapan atau respon dalam berbagai bentuk, misalnya: Adanya komplain dari pegawai, memperlambat penyelesaian pekerjaannya, ancaman untuk melakukan perlawanan ataupun penolakan memberi dukungan aktivitas kerja. Daya penolakan yang mungkin lebih tajam dan lengkap dapat berbentuk : Hilangnya loyalitas terhadap organisasi , hilangnya motivasi dalam bekerja, meningkatnya kesalahan dalam melakukan pekerjaan dan meningkatnya absensi pegawai dengan berbagai alasan 
 Lebih lanjut lagi, Robbins (1993) menambahkan bahwa pegawai dapat juga menunjukkan reaksi penolakan yang minimal atau tidak terlalu jelas pada saat akan terjadi perubahan atau selama perubahan terjadi. Keadaan ini dapat berlangsung selama berminggu-minggu, berbulan-bulan bahkan sampai dengan tahunan, akan tetapi pada suatu saat tertentu reaksi terhadap perubahan akan muncul dan meledak dalam berbagai tanggapan yang porsinya secara total lebih besar dari sebelumnya.
 Menurut Reksohadiprodjo dan Handoko (1982) terdapat enam jenis respon yang mungkin diberikan individu untuk menanggapi perubahan yang terjadi dalam perusahaan, yaitu menentang (oppose), menolak (resist), bekerja sama (tolerant), menerima (accapt), mendukung (support), atau sangat mendukung (embrace). Resistensi terhadap perubahan atau kecenderungan untuk menolak perubahan adalah suatu istilah yang dipakai oleh manajer berkaitan dengan perilaku individu dalam perusahaan, yang tidak bersedia menerima membantu implementasi suatu perubahan. Penolakan tidak selalu berarti negatif, namun dapat pula memberikan beberapa manfaat. 
 Dengan adanya sikap penolakan akan mendorong manajer untuk menguji kembali usulan perubahan sehingga akan menjadi lebih layak. Dalam Hal ini karyawan berperan sebagai penguji dan penyeimbang guna memastikan bahwa manajemen telah merencanakan dan pengimplementasikan perubahan secara layak. Jika sikap penolakan dan karyawan yang rasional ini menyebabkan manajer harus mengkaji kembali perubahan yang diusulkan dangan lebih hati¬-hati, hal ini berarti telah menghindari kecerobohan manajemen dalam pengambilan keputusan.
 
 Adanya sikap penolakan dapat pula membantu dalam mengidentifikasi daerah permasalahan dimana perubahan yang terjadi mungkin saja menimbulkan adanya kesulitan-kesulitan, sehingga manajemen dapat segera melakukan tindakan korektif sebelum permasalahan berkembang lebih jauh. Pada saat yang sama, manajemen akan lebih terdorong untuk mengkomunikasikan perubahan dengan lebih baik kepada karyawan, sehingga untuk masa-masa yang akan datang diharapkan penerimaan yang lebih baik dari karyawan. Sikap penolokan juga memberikan informasi tentang seberapa jauh intensitas emosi karyawan tentang permasalahan yang dihadapi dan dapat pula mendorong manajemen untuk mendiskusikan lebih banyak tentang perubahan kepada karyawan sehingga mereka memiliki kemampuan yang lebih baik.
 Bagaimanapun sikap penolakan terhadap perubahan diperlukan oleh perusahaan untuk menjaga stabilitas perusahaan tersebut. Apabila individu dalam perusahaan tidak mempunyai sikap penolakan terhadap perubahan maka kondisi perusahaan akan labil, mudah berubah-ubah dan dapat mengganggu aktivitas perusahaan. Sebaliknya sikap penolakan terhadap perubahan yang terlalu tinggi dimana individu dalam perusahaan sangat sulit untuk menerima perubahan maka perkembangan perusahaan menjadi terhambat. Karena manajer harus dapat mengelola sikap penolakan terhadap perubahan dalam perusahaan dengan baik. Sikap penolakan ini perlu mendapat perhatian yang serius pada saat perusahaan bermaksud melakukan suatu perubahan dalam rangka inovasi dan peningkatan efisiensi, sehingga dalam hal ini penolakan terhadap perubahaan harus diminimumkan agar tujuan perubahan dapat tercapai.
   
C. JENIS-JENIS PENOLAKAN
  Menurut Davis (1984), ada tiga jenis penolakan terhadap perubahan yang secara bersama-sama membentuk sikap pegawai dalam menanggapi perubahan yang terjadi, yaitu:
1)Logical resistance.
  Didasarkan pada alasan yang rasional dan ilmiah, sikap penolakan dapat disebabkan oleh adanya pegawai yang membutuhkan waktu dan usaha untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan, misalnya: Pada saat pegawai harus belajar tugas-tugas barunya. Hal ini merupakan beban tersendiri bagi pegawai, meskipun dalam jangka panjang perubahan ini akan menguntungkan, akan tetapi pengorbanan¬pengorbanan jangka pendek harus terlebih dahi.ilu dirasakan.
2.Psychological resistance.
  Logis dalam kaitannya dengan sikap dan perasaan pegawai mengenai perubahan. Para pegawai mungkin merasa takut menghadapi ketidak-pastian, tidak mempercayai kepemimpinan manajer, atau merasa keamanan mereka terancam. Meskipun manajer yakin bahwa perasaan tersebut tidak mendasar, akan tetapi hal tersebut riil dan harus segera dikenali oleh pihak manajemen.
3.Sociological resistance
  Nilai-nilai sosial merupakan kekuatan yang besar pengaruhnya dalam lingkungannya, sehingga harus dipertimbangkan secara hati-¬hati. Pegawai akan mempertanyakan apakah perubahan yang terjadi akan tetap konsisten dengan nilai yang dianut oleh kelompok. Ketiga jenis penolakan ini harus ditangani secara efektif agar pegawai dapat menerima perubahan dan kesediaan mau bekerja sama. Jika manajemen hanya mempertimbangkan dimensi teknis dan logis saja, maka mereka akan gagal dalam mendapatkan dukungan sumber daya manusia.

D SUMBER PENOLAKAN PERUBAHAN
Jika Perubahan Organisasi dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change. Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan. Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif. 
  Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan. 
  Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. 
  Untuk keperluan analitis, Menurut pendapat Robbin (1993), terdapat dua jenis sumber penolakan terhadap perubahan yaitu penolakan yang dilakukan oleh individual dan yang dilakukan oleh kelompok atau organisasional.
1). Resitensi Individual
Karena persoalan kepribadian, persepsi, dan kebutuhan, maka individu punya potensi sebagai sumber penolakan atas perubahan.
KEBIASAAN . 
Kebiasaan merupakan pola tingkah laku yang kita tampilkan secara berulang-ulang sepanjang hidup kita. Kita lakukan itu, karena kita merasa nyaman, menyenangkan. Bangun pukul 5 pagi, ke kantor pukul 7, bekerja, dan pulang pukul 4 sore. Istirahat, nonton TV, dan tidur pukul 10 malam. Begitu terus kita lakukan sehingga terbentuk satu pola kehidupan sehari-hari. Jika perubahan berpengaruh besar terhadap pola kehidupan tadi maka muncul mekanisme diri, yaitu penolakan. 
RASA AMAN
Jika kondisi sekarang sudah memberikan rasa aman, dan kita memiliki kebutuhan akan rasa aman relatif tinggi, maka potensi menolak perubahan pun besar. Mengubah cara kerja padat karya ke padat modal memunculkan rasa tidak aman bagi para pegawai.
FAKTOR EKONOMI
Faktor lain sebagai sumber penolakan atas perubahan adalah soal menurun-nya pendapatan. Pegawai menolak konsep 5 hari kerja karena akan kehilangan upah lembur. 
TAKUT AKAN SESUATU YANG TIDAK DIKETAHUI
Sebagian besar perubahan tidak mudah diprediksi hasilnya. Oleh karena itu muncul ketidak pastian dan keraguraguan. Kalau kondisi sekarang sudah pasti dan kondisi nanti setelah perubahan belum pasti, maka orang akan cenderung memilih kondisi sekarang dan menolak perubahan. 
PERSEPSI
Persepsi cara pandang individu terhadap dunia sekitarnya. Cara pandang ini mempengaruhi sikap. Pada awalnya program keluarga berencana banyak ditolak oleh masyarakat, karena banyak yang memandang program ini bertentangan dengan ajaran agama, sehingga menimbulkan sikap negatif.



Gambar 6 :
RESITENSI INDIVIDUAL


  Kebiasaan Rasa Aman Faktor Ekonomi







  Ketidakpastian Persepsi

2). Resistensi Organisasional
  Organisasi, pada hakekatnya memang konservatif. Secara aktif mereka menolak perubahan. Misalnya saja, organisasi pendidikan yang mengenal-kan doktrin keterbukaan dalam menghadapi tantangan ternyata merupakan lembaga yang paling sulit berubah. Sistem pendidikan yang sekarang berjalan di sekolah-sekolah hampir dipastikan relatif sama dengan apa yang terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, atau bahkan lebih. Begitu pula sebagian besar organisasi bisnis. Terdapat enam sumber penolakan atas perubahan.
INERSIA STRUKTURAL
Artinya penolakan yang terstrukur. Organisasi, lengkap dengan tujuan, struktur, aturan main, uraian tugas, disiplin, dan lain sebagainya menghasil- kan stabilitas. Jika perubahan dilakukan, maka besar kemungkinan stabilitas terganggu. 
FOKUS PERUBAHAN BERDAMPAK LUAS
Perubahan dalam organisasi tidak mungkin terjadi hanya difokuskan pada satu bagian saja karena organisasi merupakan suatu sistem. Jika satu bagian dubah maka bagian lain pun terpengaruh olehnya. Jika manajemen mengubah proses kerja dengan teknologi baru tanpa mengubah struktur organisasinya, maka perubahan sulit berjalan lancar.
INERSIA KELOMPOK KERJA
Walau ketika individu mau mengubah perilakunya, norma kelompok punya potensi untuk menghalanginya. Sebagai anggota serikat pekerja, walau sebagai pribadi kita setuju atas suatu perubahan, namun jika perubahan itu tidak sesuai dengan norma serikat kerja, maka dukungan individual menjadi lemah.
ANCAMAN TERHADAP KEAKHLIAN 
Perubahan dalam pola organisasional bisa mengancam keakhlian kelompok kerja tertentu. Misalnya, penggunaan komputer untuk merancang suatu desain, mengancam kedudukan para juru gambar. 
ANCAMAN TERHADAP HUBUNGAN KEKUASAAN YANG TELAH MAPAN.
Mengintroduksi sistem pengambilan keputusan partisipatif seringkali bisa dipandang sebagai ancaman kewenangan para penyelia dan manajer tingkat menengah.
ANCAMAN TERHADAP ALOKASI SUMBERDAYA
Kelompok-kelompok dalam organisasi yang mengendalikan sumber daya dengan jumlah relatif besar sering melihat perubahan organisasi sebagai ancaman bagi mereka. Apakah perubahan akan mengurangi anggaran atau pegawai kelompok kerjanya?.

Gambar 7 :
RESISTENSI ORGANISASIONAL

  Inersia Struktural Dampak Luas Perubahan Inersia Kelompok






  Ancaman Keahlian Ancaman Kekuasaan Ancaman Alokasi 
  Sumberdaya

 
 
Lebih lanjut , Robbin (1993) menambahkan bahwa terdapat lima sumber mengapa individu menolak perubahan, yaitu:
(1). Merubah kebiasaan.
 Perilaku manusia merupakan aktivitas yang turun-menurun terus dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan. Dimana aktivitas manusia akan selalu mengandalkan pada kebiasaan¬-kebiasaan atau respons-respons yang sudah sering dilakukan oleh hampir setiap orang. Adanya perubahan, kecenderungan untuk ditanggapi dengan cara-cara yang telah terbiasa dilakukan, sehingga dengan kebiasan ini dapat menyebabkan terjadinya penolakan terhadap suatu perubahan.
(2). Berkurangnya penghasilan.
 Faktor ekonomi ini dapat merupakan salah satu sumber penolakan yang menyebabkan mengapa seseorang itu kurang suka terhadap perubahan. Perubahan dan tugas-tugas kerja atau kerutinan kerja yang telah mapan, memprehatinkan mereka tidak memperoleh standar penghasilan mereka sebelumnya.
(3). Tidak mampu melakanakan tugas baru.
 Hal ini terjadi bila perubahan yang ada menyebabkan pegawai untuk mempelajari hal-hal yang baru dan tugas-tugas yang mungkin tidak diketahuhi oleh pegawai tersebut sebelumnya. Perubahan yang terjadi tersebut merubah sesuatu yang telah diketahui pegawai dengan sesuatu yang baru yang belum pernah diketahui oleh pegawai. Beberapa pegawai merasa khawatir jika mereka tidak mampu melakukan tugasnya yang baru, sehingga pegawai akan mengembangkan suatu sikap yang negatif atau akan berperilaku disfungsional jika mereka diminta untuk melakukannya.
(4). Penyerapan informasi yang kurang utuh.
 Individu membentuk kerangka berpikir mereka lewat persepsi masing-masing. Begitu mereka telah menciptakan kerangka berpikirnya, maka mereka akan menolak adanya perubahan yang terjadi akibat dan informasi yang baru. Individu-individu keliru memproses informasi secara kurang utuh untuk informasi yang baru, yang seharusnya persepsi mereka utuh. Mereka mendengar apa yang mereka ingin dengar dan mengabaikan informasi yang menentang kerangka berpikir yang telah mereka ciptakan. Mereka akan mengabaikan argumen-argumen yang dikemukakan oleh atasan mereka dalam menjelaskan sesuatu pengetahuan atau manfaat potensial yang berguna untuk menuju perubahan itu.
(5) Ketenangan pekerjaan terganggu.
 Perlu adanya ketenangan pekerjaan untuk menjamin kepastian keberadaannya dalam suatu jabatan ataupun pekerjaan tertentu. Semakin tinggi jabatan yang dimiliki seseorang akan semakin banyak fasilitas yang dimilikinya. Banyaknya fasilitas yang dimiliki pegawai akan semakin memudahkannya di dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Seorang pegawai dengan kebutuhan hidup yang tinggi akan merasa ketenangan pekerjaannya terganggu, akibatnya akan menolak perubahan, karena perubahan itu mengancam ketenangan pekerjaan mereka. Adanya perubahan yang terjadi banyak pegawai merasa khawatir bahwa pekerjaan mereka akan hilang.
 Selain itu sikap penolakan terhadap perubahan menurut Reksohadiprodjo dan Handoko, 1982, adalah suatu hal yang sering terjadi dan bersifat alamiah. Berbagai sumber penolakan ini seringkali sulit ditentukan. Penolakan mungkin saja diakibatkan oleh bermacam-macam sumber, seperti : (1) Kepentingan pribadi. (2) Salah pengertian, (3) Norma kelompok, (4) Keseimbangan kekuatan dan (5) Berbagai perbedaan dalam misi, tujuan dan lain-lain.
 Para anggota organisasi akan berperilaku tertentu untuk memaksimumkan tercapainya tujuan-tujuan yang secara pribadi mereka anggap paling penting. Akibat adanya perubahan yang akan mengancam status quo cenderung untuk ditolak dikarenakan mereka merasa akan kehilangan sesuatu nilai yang telah dipegangnya. Beberapa tujuan pribadi yang mereka rasakan akan teracam penurunan dapat menjadi sumber penolakan, yaitu;
(1). Kekuasan, yaitu wewenang yang memudabkan untuk mencapai keinginan.
(2). Uang, yaitu penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan kebutuhannya.
(3). Prestise, yaitu kesempatan untuk mendapatkan penghargaan pengembangan diri serta promosi untuk memperoleh jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.
(4). Kenyamanan, yaitu suatu kondisi yang memudahkan untuk melakukan usaha-usaha pencapaian tujuannya.
(5). Keamanan, yaitu perlindungan terhadap berbagai kemungkinan yang dirasakan akan menimbulkan ketidak-enakan.
(6) Kecakapan profesional, yaitu kemampuan merespon berbagai hal sehubungan dengan profesi pekerjaannya.
 Sekelompok orang yang merasa terancam kedudukan mereka dengan adanya perubahan, tentu saja akan berusaha untuk mempertahankan status yang dinikmatinya dan berusaha untuk dapat menolak adanya perubahan tersebut. Selain itu, adanya salah pengertian akibat dan salah inforrnasi dapat menyebabkan seseorang tidak mau menerima adanya perubahan. Kornunikasi yang tidak sampai kepadanya akan membuat seseorang enggan menerima perubahan disebabkan mereka merasa dirinya tidak diikutsertakan dalam penyusunan program dan diskusi, sehingga tidak menghayati tujuan, proses dan pengaruh yang diakibatkannya.. Munculnya perubahan pada aturan ataupun norma yang sudah menjadi pegangan seseorang atau kelompok yang dapat menghambat proses perubahan. Orang khawatir bahwa adanya perubahan perlu dibuat adanya norma dan aturan baru, dimana penyesuaian terhadap peraturan tersebut sering kali sukar dan memakan waktu. Denan adanya perubahan, kemungkinan juga otonomi atau kemandirian suatu kelompok berkurang, sehingga orang akan lebih menyukai tidak mempertahankan status quo dan keseimbangan kekuatan yang ada sekarang mi (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1982).
 Selanjutnya ditambahkan oleh Reksohadiprodjo dan Handoko (1982), orang-orang juga akan cenderung menolak perubahan apabila mereka tidak mampu memahami maksud dan mekanisme dan konsekuensi-konsekuensinya suatu perubahan yang direncanakan. Keadaan ini kemungkinan terjadi bila ada rasa saling tidak percaya di antara pihak-pihak yang terlibat, baik pihak yang berinisiatif maupun yang dikenakan usulan modifikasi. Distorsi informasi yang dihasilkan dengan adanya kekurang percayaan dan kecurigaan dapat meningkatkan sikap bertahan dan mengurangi frekuensi ekspresi terbuka, sehingga dapat menurunkan efektifitas komunikasi dan perubahan. Orang-orang tidak menolak perubahan pada satu hal saja, melainkan penolakan terhadap berbagai ketidak-pastian yang melekat pada usulan perubahan tersebut.
 Penolakan terhadap perubahan juga sering terjadi bila para partisipan organisasi berbeda dalam hal evaluasi atas biaya-biaya dan keuntungan yang dihasilkan oleh suatu usulan perubahan. Tanggapan terhadap suatu usulan perubahan jelas berhubungan dengan pandangan pihak-pihak yang berbeda mengenai arti kegiatan bagi diri dan organisasi mereka. Perbedaan pandangan tentang efektifltas usulan perubahan sening muncul apabila informasi yang bersangkutan dengan perubahan tersebut tidak memadai. Ketidak cukupan informasi ini biasanya disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa para pengambil inisiatif seringkali beranggapan bahwa semua pihak mempunyai informasi yang relevan. Pada hal pemilikan informasi yang berbeda akan sering membedakan analisis terhadap usulan perubahan organisasi yang selanjutnya dapat menimbulkan penolakan. (Reksohadiprodjo dan Handoko, 1982 )
  Sedangkan menurut Galpin ( 1996 ) penolakan terhadap suatu perubahan organisasi bukanlah tanpa alasan, namun biasanya ada alasan-alasan yang menjadi sumber penolakan terhadap perubahan organisasi tersebut., beberapa sumber penolakan terhadap perubahan organisasi adalah sebagai berikut ;
1. Masalah Pribadi: Hal ini biasanya berupa ketakutan akan ssesuatu yang tidak diketahui, ketakutan akan kehilangansesuatu yang berharga ( status, kekuasaan, dll ), terlalu terikat dengan cara-cara lama, ketakutan akan kegagalan, ketidak mampuan untuk menghadapi kritikan, ancaman terhadap kompetensi, tidak
  dianggap menguntungkan, takut terlihat tidak mampu, enggan untuk mencoba, enggan untuk melepaskan kebiasaan lama, dll
2. Perubahan itu sendiri : Hal ini biasanya berupa perubahan yang dilakukan tidak menghasilkan adanya kemajuan yang lebih baik, tidak adanya kejelasan arah perubahan, adanya perbedaan persepsi tentang kebutuhan untuk berubah, serta kurangnya kepercayaan bahwa dengan adanya perubahan tujuan akan tercapai.
3. Prosedur perubahan : Hal ini biasanya berupa kurang adanya partisipasi, adanya salah informasi, waktu terjadinya perubahan yang kurang tepat, terjadinya perubahan yang terlalu cepat ( prematur ), tidak adanya persetujuan atau komitmententang tujuan untuk adnya perubahan.
4. Sistem Manajemen dan Iklim Organisasi.: yaitu berupa kurang taktisnya dalam melakukan perubahan, kurangpercaya pada manajemen, kurang adanya model prilaku, adanya faktor sejarah yang kurang mendukung, rendahnya kepercayaan terhadap iklim organisasi serta hambatan budaya organisasi.










Selain itu Galpin juga mengemukan bahwa penolakan terhadap perubahan dapat digambarkan dalam suatu piramida penolakan sebagai berikut :

Gambar: 8
PIRAMIDA PENOLAKAN


  Tidak mau ( Not Willing )

  Tidak mampu ( Not Able )
   
   
  Tidak tahu ( Not Knowing )

  Dari piramida penolakan dapat digambarkan bahwa penolakan ( resistensi ) pertama / terendah diakibatkan oleh ketidak tahuan mereka mengapa perubahan itu perlu dilakukan . Tingkatan berikutnya penolakan itu dikarenakan bahwa mereka merasa tidak mampu untuk mengikuti atau menyesuaikan dengan adanya perubahan tersebut. Sedangkan tingkatan yang tertinggi penolakan tersebut dikarenakan memang mereka tidak mau untuk perubah dengan berbagai alasan
  Dengan adanya tingkatan tersebut maka tentu saja dalam penaganan terhadap penolakan tersebut juga sangat berbeda dari masing-masing tingkata. Ketepatan dalam penaganan penolakan akan dapat mengatasi dampak yang ditimbulkan. 

D. REAKSI DAN PERILAKU PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI

  Menurut Maurer ( 1996 ) reaksi maupun perilaku penolakan perubaahan organisasi dapat dibagi ke dalam beberapa katagori . Pertama, reaksi tertutup, artinya penolakan terhadap perubahan organisasi dapat dilakukan secara tertutup atau sengaja ditutupi , sehingga tidak aanya dukungan terhadap terjadinya perubahan bersifat laten, tersembunyi atau tidak dapat dijelaskan. Kedua, reaksi terbuka, artinya bahwa mereka yang menolak terhadap perubahan secara terang-terangan mengekspresikan ptersebut serta memberikan alasan atau argumen penolakan mereka , meskipun hal ini pada kondisi tertentu akan mengarah menjadi debat atau bahkan konflik, namun penanganannya lebih mudah daripada penolakan tertutup. Ketiga, reaksi yang tidak disadari, artinya penolakan bisa saja dilakukan secara tidak sadar. Pada umumnya mereka tidak menyadari bahwa perilaku mereka mengarah pada penolakan perubahan organisasi, hal ini biasanya disebabkan oleh adanya informsi yang salah, rutinitas kerja yang sudah tertanam sangat kuat dan kurangnya pelatihan. Keempat, reaksi yang disadari, yaitu penolakan yang termotivasi secara sadar dikarenakan perubahan yang terjadi dianggap sesuatu yang negatif atau merugikan dirinya.

E.BENTUK PENOLAKAN TERHADAP PERUBAHAN ORGANISASI
  Dikaitkan dengan berbagi reaksi dan perilaku penolakan di atas maka bentuk-bentuk penolakan terhadap perubahan yang ditampakkan sebagaimana dikemukakan oleh Galpin ( 1996 ) diantaranya berupa :
- Mempertanyakan teori, pendekatan dan metode yang digunakan dalam perubahan
- Menolak adanya masalah yang ditimbulkan oleh adanya perubahan organisasi
- Secara terus menerus menanyakan secara detail, mengapa perbahan itu terjadi
- Memberikan berbagai macam alasan tentang penolakannya terhadap perubahan
- Menyatakan bahwa waktu dan situasi perubahan tersebut tidak tepat
- Mempertanyakan masalah-masalah praktis ataupun kelayakan dari rencana perubahan
- Menyatakan bahwa hal telah telah pernah dilakukan dan ternyata tidak berhasil
- Menanyakan tentang penelitian awal yang dilakukan 
- Bersikap pasif, diam dan mengacuhkan rencana perubahan
- Berpura-pura tidak ada waktu, bahkan marah, kesal dan mencari kambing hitam
  Bentuk-bentuk penolakan yang tercermin dari sikap dan perilaku tersebut akan berdampak pada proses perubahan itu sendiri beserta hasil-hasil yang diperoleh dari proses perubahan tersebut.Meskipun reaksi penolakan itu tidak menyenangkan, tetapi sebenarnya dengan adanya upaya untuk mengatasi penolakan tersebut dapat diperoleh beberapa manfaat yaitu dengan adanya penolakan / resistensi terhadap perubahan organisasi dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meningkatkan kesuksesan dan kecepatan implementasi dari perubahan tersebut. Disamping itu semua pihak justru akan bekerja keras untuk bersama-sama mengatasi penolakan tersebut dan akan berusaha mencapai tujuan yang diinginkan serta dengan adanya penolakan merupakan kontrol bagi manajemen sehingga dapat terhidar dari kesalahan yang fatal yang barangkali tidak diketahui oleh manajemen organisasi.
BAB VII
STRATEGI UNTUK MENGATASI 
PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI

A. STRATEGI MENGHADAPI PENOLAKAN TERHADAP PERUBAHAN
 
 Menurut Robbins (1993), terdapat enam metode yang digunakan sebagai strategi dalam menghadapi penolakan terhadap perubahan, yaitu:
a. Pendidikan dan komunikasi
 Tingkat penolakan terhadap perubahan dapat dikurangi atau sumber-sumber penolakan yang muncul dapat dihilangkan melalui komunikasi antara anggota organisasi untuk membantu mereka terlibat secara logis dari perubahan-perubahan tersebut.
 Pendekatan ini secara mendasar mengasumsikan bahwa sumber-sumber penolakan terletak pada hilangnya informasi dan kurangnya komunikasi sehingga para anggota mau untuk menerima seluruh fakta dan memperoleh kejelasan atas ketidakmengertian mereka, sehingga penolakan yang muncul tersebut dapat berkurang ataupun hilang.
 Hal ini dapat dicapai melalui diskusi timbal balik, memo, presentasi kelompok dan laporan. Adapun kelemahan yang mungkin timbul dan pendekatan mi adalah diperlukannya waktu yang relatif lama apabila jumlah orang yang telibat cukup banyak.
b. Partisipasi dan keterlibatan
 Keterlibatan para kelompok potensial dalam perencanaan dan implementasi suatu perubahan akan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan penolakan. Secara teoritis, kegiatan-kegiatan seperti ini ditandai dengan komunikasi terbuka dan pertukaran pandangan antara pihak-pihak yang terlibat. Para anggota yang terlibat dianggap mempunyai keahlian yang diperlukan dan bersikap rasional dalam membuat keputusan perubahan. Kelemahan dan pendekatan ini adalah terdapat kemungkinan pemechan masalah yang tidak tepat dan memerlukan waktu yang lama apabila individu yang terlibat tidak siap dalam merencanakan perubahan.
c. Kemudahan dan dukungan
 Penolakan ini sangat tepat untuk penolakan yang timbul sebagai akibat dan rasa takut dan kekhawatiran. Penolakan akan dapat dicegah dengan cara mengambil inisiatif membantu individu-individu yang terkena perubahan dan mengetahui bagaimana perasaan mereka. Program bimbingan, pemberian tegang waktu, dukungan emosional dan pengertian akan membantu penanganan penolakan. Kelemahan dari pendekatan ini disamping memakan waktu yang lama juga memerlukan biaya yang besar dan keberhasilan yang akan dicapai belum terjalin.
d. Negosiasi dan persetujuan
 Negosiasi yang dilakukan dengan para penolak potensial mencakup pertukaran berbagai sumber daya, sanksi akomodasi dan balas jasa secara berurutan. Taktik ini menyarankan agar pengambil keputusan inisiatif perubahan bersedia untuk menyesuaikan perubahan dengan kebutuhan dan kepentingan para penolakpotensial. Kelemahan dan pendekatan ini adalah diperlukannya biaya yang relatif besar apabila ternyata individu yang lain juga menuntut adanya negosiasi untuk memenuhi kebutuhan mereka.
e. Manipulasi dan kerja sama
 Manipulasi dilakukan untuk menjauhkan penolakan potensial terhadap perubahan melalui pemberian informasi secara selektif atau melalui penyusunan urutan kejadian-kejadian dengan sengaja. Kerjasama dilakukan dengan cara memasukkan orang yang potensial menolak ke dalam struktur pngambilan keputusan agar mengurangi akibat dan penolakan yang ada tersebut. Pendekatan ini relatif tidak mahal dan merupakan cara yang mudah untuk mendapatkan dukungan dan lawan, akan tetapi pendekatan ini bisa membahayakan apabila mereka kemudian sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan dan merasa ditipu.
f. Paksaan
 Pendekatan ini menggunakan paksaan secara implisit maupun eksplisit dengan cara memaksa para penolak dengan kekuatan atau berbagai ancaman untuk menenma perubahan. Taktik yang digunakan dapat berupa ancaman pemecatan, penundaan promosi, transfer dan lainnya. Pendekatan ini bisa memberikan hasil yang cepat, tetapi memiliki resiko seperti halnya pendekatan manipulasi dan kerjasama yaitu apabila mereka sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan dan merasa ditipu.
 Dari strategi-strategi yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pendekatan yang bersifat universal untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan. Secara praktis, keenam pendekatan ini tidak saling berdiri sendiri, melainkan seiring dan merupakan kombinasi dan beberapa metode penekanan. Manajer dituntut untuk memahami dengan baik mengenai berbagai hal yang menyangkut penolakan terhadap perubahan dan karyawan-karyawannya serta kondisi perusahaan untuk kemudian melakukan pemilihan pendekatan yang didasarkan atas antisipasi reaksi dan berbagai pihak yang terlibat dan berbagai sasaran pokok yang ingin dicapai.
 Dari strategi-strategi yang telah diungkapkan diatas, dapat disimpulkan bahwa tidak ada pendekatan yang bersifat universal untuk mengatasi penolakan terhadap perubahan. Secara praktis, keenam pendekatan ini tidak saling berdiri sendiri, melainkan seiring dan merupakan kombinasi dan beberapa metode penekanan. Manajer dituntut untuk memahami dengan baik mengenai berbagai hal yang menyangkut penolakan terhadap perubahan dan karyawan-karyawannya serta kondisi perusahaan untuk kemudian melakukan pemilihan pendekatan yang didasarkan atas antisipasi reaksi dan berbagai pihak yang terlibat dan berbagai sasaran pokok yang ingin dicapai.
 Coch dan French Jr. Mengemukakan teori, ada enam strategi yang bisa dipakai untuk mengatasi penolakan ( resistensi ) terhadap perubahan organisasi
1. Pendidikan dan Komunikasi. Berikan penjelasan secara tuntas tentang latar belakang, tujuan, akibat, dari diadakannya perubahan kepada semua pihak. Komunikasikan dalam berbagai macam bentuk. Ceramah, diskusi, laporan, presentasi, dan bentuk-bentuk lainnya.
2. Partisipasi. Ajak serta semua pihak untuk mengambil keputusan. Pimpinan hanya bertindak sebagai fasilitator dan motivator. Biarkan anggota organisasi yang mengambil keputusan
3. Memberikan kemudahan dan dukungan. Jika pegawai takut atau cemas, lakukan konsultasi atau bahkan terapi. Beri pelatihan-pelatihan. Memang memakan waktu, namun akan mengurangi tingkat penolakan.
4. Negosiasi. Cara lain yang juga bisa dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak-pihak yang menentang perubahan. Cara ini bisa dilakukan jika yang menentang mempunyai kekuatan yang tidak kecil. Misalnya dengan serikat pekerja. Tawarkan alternatif yang bisa memenuhi keinginan mereka
5. Manipulasi dan Kooptasi. Manipulasi adalah menutupi kondisi yang sesungguhnya. Misalnya memlintir (twisting) fakta agar tampak lebih menarik, tidak mengutarakan hal yang negatif, sebarkan rumor, dan lain sebagainya. Kooptasi dilakukan dengan cara memberikan kedudukan penting kepada pimpinan penentang perubahan dalam mengambil keputusan.
6. Paksaan. Taktik terakhir adalah paksaan. Berikan ancaman dan jatuhkan hukuman bagi siapapun yang menentang dilakukannya perubahan. 
Bagaimanapun juga penolakan terhadap perubahan organisasi harus diatasi, karena hal tersebut akan mengganggu keberlangsungan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuannya. Upaya-upaya untuk mengatasi penolakan tersebut pada prinsipnya adalah untuk menciptakan situasi dan keadanaan yang kondusif demi terwujudnya efektivitas kerja organisasi secara keseluruhan. Berbagai teori dikemukakan tentang bagaimana mengatasi penolakan tersebut diantaranya:
 Sesuai dengan teori piramida penolakan, Galpin ( 1996 ) memngemukakan teotri tentang bagaimana mengatasi penolakan terhadap perubahan sebagai berikut


Gambar 9:
PIRAMIDA MENGHADAPI PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI



  Tidak
  Mau
   
  Tidak
  Mampu

   
  Tidak Mengetahui  









Menurut Kotter & Schesinger ( 1979 yang dikutip oleh Smither, dkk ( 1996 ) Metode untuk mengatasi atau menangani berbagi reaksi dari penolakan perubahan dapat dilakukan dengan pendekatan yang digambarkan secara ringkas pada tabel sebagai berikut :
Tabel 1:
PENDEKATAN DALAM MENGATASI 
PENOLAKAN PERUBAHAN ORGANISASI
Pendekatan Bisa digunakan bila Kebaikan Kelemahan
1. Pendidikan dan Komunikasi
 Ada kekurangan
informasi atau ketidak tepatan informasi dan analisis Setelah diyakinkan biasanya akan mebantu untuk mengimplementasikan perubahan Dapat sangat memakan waktu bila melibatkan banyak orang
2. Partisipasi dan keterlibatan Pengambil inisiatif tidak mempunyai semua informasi yang dibutuhkan untuk merancang perubahan dan orang-orang lainnya mempunyai kekuatan untuk menolak Orang-orang yang berpartisipasi akan terikat dalam mengimplementasikan perubahan, dan setiap informasi yang relevan dari mereka akan terintegrasi dalam rencana perubahan Dapat sangat memakan waktu bila para partisipan merancang perubahan yang tidak tepat
3. Kemudahan dan dukungan Orang-orang melakukan penolakan karena masalah-masalah penyesuaian Tidak ada pendekatan lain yang dapat digunakan sebaik pendekatan ini dalam menangani masalah-masalah penyesuaian Dapat sangat memakan waktu, dan mahal
4. Negosiasi dan persetujuan Banyak orang atau kelompok dengan kekuasaan cukup besar untuk menolak akan kalah dalam suatu perubahan Kadang-kadang ini merupakan cara yang relatif mudah untuk menghindari penolakan Dapat sangat mahal bila hal ini menyadarkan yang lain untuk bernegosiasi bagi kerelaannya
5. Manipulasi dan
  “ bekerja sama “ Takti-takti lain tidak efektif dan mahal Dapat merupakan penyelesaian yang relatif cepat dan tidak mahal untuk penolakan masalah-masalah Dapat menimbulkan masalah diwaktu mendatang bila orang-orang merasa dimanipulasi
6. Paksaan eksplisit dan implisit Kecepata adalah esensial dan para pengusul perubahan mempunyai kekuasaan cukup besar Pendekatan ini capat dan dapat mengatasi segala jenis penolakan Dapat mengandung resiko cukup besar bila orang-orang dibiarkan marah terhadap para pengambil inisiatif
Sumber : Smither, et. All,( 1996 ), Organization Development, Strategies for
  Changing Enveronmnets, Harper Collins College Publisher, ( page; 48 )
Sedangkan menurut Clark ( 1991 ), Smith ( 1966 ) dan Mure ( 1996 ) Untuk memenej proses perubahan dengan baik dapat dilakukan dengan cara-cara sebagi berikut :
1. Meyakinkan, dengan cara memberikan informasi tentang kenyataan yang ada , memberikan argumentasi, menjelaskan perlunya perubahan, mendorong untuk mempelajari proses perubahan tersebut.
2. Memberikan inspirasi, dengan cara menunjukkan antusias dan kepercayaan terhadap perubahan, memeberikan semangat serta menambah jumlah orang yang terlibat dalam perubahan.
3. Negosiasi, dengan cara menjelaskan cost and beneffityang akan terjadi dengan adanya perubahan dan pengembangan organisasi.
4. Mengarahkan, dengan cara menjaga agar supaya agar kinerja tetap menjadi orientasi dengan adanya perubahan dan pengembangan organisasi
5. Pendekatan Individu, dengan cara mendengarkan dan memperhatikan secara cermat tentang aspirasi anggota organisasi serta meyakinkan bahwa perubahan dan pengembangan organisasi tersebut tidak akan mematikan aspirasi mereka.
6. Orientasi kerja tim, dengan cara melibatkan berbagai pihak dalam organisasi secara tim dalam melakukan proses perubahan dan pengembangan organisasi.
7. Meningkatkan kreativitas dan Inovasi, dengan cara menciptakan berbagai situasi dan kondisi baru yang kreatif dan dinamis agar anggota organisasi merasakan situasi yang lebih menyenangkan
8. Menunjukkan contoh dan hasil yang kongkrit, dengan cara memberikan data-data riil yang menunjukkan hasil yang lebih baik dengan adanya perubahan dan pengembangan organisasi
9. Pemaksaan, dengan cara menjelaskan kepada mereka yang masih menolak perubahan dan pengembangan akan mendapatkan sangsi
10. Membiarkan untuk memilih sikap, dengan cara mempersilahkan anggota organisasi untuk memilih menolak ataupun menerima perubahan dengan segala konsekwensinya  



BAB VIII
PERAN HUMAN RESOURCHIS TERHADAP PERUBAHAN ORGANISASI
Saat ini kita mengenal Nokia sebagai salah satu raksasa di industri telekomunikasi dunia dimana produk-produk telepon seluler mereka sangal laku di pasaran. Di Asia pasifik termasuk Indonesia, perusahaan asal Finlandia ini masih menjadi pemimpin pasar. Awalnya, tak ada yang menyangka Nokia akan bisa menyaingi raksasa-raksasa telekomunikasi seperti Ericsson, Siemens dan Motorola bila kita menengok kiprah awal Nokia yang merupakan perusahaan forestry. Bisnis pengolahan kayu dan kertas tentu jauh berbeda dengan telekomunikasi.
Perubahan yang dialami Nokia cukup besar karena menyangkut perubahan core business. Untuk melakukan perubahan ini memang tidak mudah karena Nokia juga harus merubah orang-orangnya dan membentuk kompetensi mereka untuk bidang bisnis yang berbeda. Padahal untuk melakukan perubahan skala menengah seperti struktur dan sistem organisasi saja tidak mudah. Apalagi melakukan perubahan besar seperti core business yang dialami Nokia.
Di sinilah peran HR sebagai agen perubahan terasa penting. Lalu apa yang harus dilakukan HR dalam menyikapi perubahan? "Untuk melakukan perubahan yang substansial, HR eksekutif pertama-tama harus mempelajari organizational culture dan mengassess permasalahan-permasalahan", ujar Ronald McKinley Vice President of Human Resources di Cincinnati Children’s Hospital Medical Center seperti dikutip SHRM.
Menurut John Tanuwidjaja, Vice President & Technology Adviser PT. AndrewTani Indonesia, untuk menjalani peran sebagai agen perubahan ada dua hal yang harus dikuasai HR. Selain harus menguasai bidangnya dengan baik, HR juga harus mengerti mengenai bisnis di perusahaannya. Tujuannya agar HR bisa mengawal perubahan tersebut dengan baik. Selain itu, secara struktural seharusnya pimpinan-pimpinan memiliki visi yang sama.
"Dari mulai CEO sampai ke middle management harus mengerti apa peran HR dalam satu organisasi sehingga saling mengisi. Karena HR sendirian nggak akan bisa berhasil mengawal suatu perubahan tanpa ada kerjasama dengan lini struktural", ujarnya kepada HC. Ia juga mencontohkan keberhasilan Nokia melakukan perubahan core business yang tidak terlepas dari sokongan penuh sang CEO.
Sementara itu Sri Utami Wati, konsultan Mercer Human Resources Consulting melihat perubahan dalam perusahaan akan selalu ada, baik yang dipengaruhi secara internal maupun eksternal. Untuk itu HR harus menguasai 4 C yaitu competence, commitment, cost effectiveness dan congruents.
Yang dimaksud competence adalah HR harus memastikan bahwa secara internal dia benar-benar memiliki kompetensi sebagai agen perubahan dan secara eksternal mempersiapkan karyawan supaya bisa menerima perubahan. Untuk commitment, HR harus memiliki komitmen tinggi di dalam organisasi. Cost effectiveness menuntut HR untuk memastikan bahwa semua insentif yang disiapkan untuk perubahan selalu efektif. Dan terakhir yaitu congruent dimana HR harus memastikan harmonisasi dari setiap policy yang dibuat.
Sementara itu, tokoh HR terkemuka Dave Ulrich mendefinisikan ada empat role HR yaitu Management of Strategic Human Resourecs, Management of Firm Infrastructure, Management of Employee Contribution dan Management of Transformation and Change. Dari keempat role tersebut yang berkaitan dengan peran HR sebagai agen perubahan adalah Management of Transformation and Change. Dave Ulrich melihat deliverable dari role tersebut adalah creating a renewed organization. Sementara itu implementasi dari role tersebut adalah Managing transformations and change dan Ensuring Capacity for Change.
Meskipun pada dasarnya semua unsur yang terdapat dalam perusahaan mempunyai peran masing-masing terkait dengan perubahan, namun tanggung jawab HR sangat besar karena yang dihadapi adalah manusia. Utami menyadari bahwa sudah menjadi karakteristik manusia untuk selalu melakukan perlawanan terhadap perubahan.
"Karyawan sebenarnya tidak khawatir dengan perubahan melainkan melainkan ketidakpastian. Misalnya kalau ada perubahan kedepannya seperti apa sih? Kalau itu belum kelihatan dengan pasti kedepannya seperti apa, dia jadi resist untuk berubah", kata Utami. Jadi, tanggung jawab HR sebenarnya lebih kepada menyelaraskan antara manusia dan perubahan.
Utami sendiri melihat ada tiga skill utama yang harus dimiliki HR yang berkaitan dengan project management, change management dan communication. "Dalam hal project management, HR harus siap membuat satu pondasi dimana pondasi itu untuk memastikan aktivitas-aktivitas dalam perubahan itu align dan berintegrasi satu dengan yang lain", terang Utami.
Yang kedua adalah change management. Untuk melakukan perubahan, HR harus terlebih dahulu mengetahui tipe perubahannya. "Apakah dia itu berkaitan dengan people, dengan proses, dengan information knowledge, dengan decision making", tambahnya. Selain itu, ada dua hal lain yang harus diperhatikan terkait change management ini, yaitu leadership style dan skala perubahan. 
"Leadership itu bisa konsultatif, directive maupun kohersif. Kalau skala perubahan misalnya apakah hanya instrumental saja, transisi atau benar-benar transformasi. Itu juga harus dikenali. Kemudian gap atau kedalaman dari perubahan itu. Apakah itu the whole organization atau hanya bersifat satu unit atau departemen tertentu, atau malah bersifat personal", kata Utami panjang lebar.
Sementara itu yang tak kalah penting dalam melakukan perubahan adalah communication management. Komunikasi antara berbagai belah pihak yang terkait dengan perubahan menurut Utami harus dijalin dengan kuat. "Jadi harus memastikan bahwa yang terkena imbas itu harus memahami bahwa akan terjadi perubahan sehingga tidak menimbulkan salah persepsi", tutupnya.
Untuk mencapai keberhasilan, sebuah organisasi harus mempunyai keunggulan kompetitif. Dan untuk mencapai kunggulan kompetitif atau competitive advantage, organisasi harus siap untuk berubah. Dan untuk menjalani perubahan tersebut, tiap organisasi harus memiliki agen perubahan.
Saat ini, banyak organisasi yang secara strategis menggunakan perubahan untuk meningkatkan organizational effectiveness mereka. Berdasarkan SHRM 2007 change management survey report, sebanyak 82% HR professional mengatakan bahwa perusahaan mereka mempunyai rencana untuk mengimplementasikan perubahan-perubahan dalam organisasi yang bersifat umum dalam jangka 24 bulan ke depan.
Seperti ditulis di SHRM, change management pada dasarnya merupakan sebuah proses formal dalam organizational change yang dilakukan melalui pendekatan yang sistematis dalam sebuah application of knowledge, tools, dan resources. Selain itu, change management juga berarti mendefinisikan dan mengadopsi strategi-startegi perusahaan, struktur, prosedur dan teknologi untuk menghadapi perubahan yang terjadi baik yang terjadi di dalam dalam maupun dari luar.
Oleh karena itu untuk mengantisiapsi dan mengatasi tantangan persaingan di dunia bisnis yang terjadi saat ini, perusahaan harus memiliki kesiapan untuk menjalani suatu perubahan. Dalam hal ini, HR seharusnya memiliki kontribusi penting sebagai business partner bagi perusahaan. Change management skill merupakan hal yang harus dimiliki HR dalam menjalani perannya saat ini sebagai business partner meskipun kita tidak bisa mengesampingkan peran adminsitratif.
Menurut Handry Satriago, Director GE Energy, hal ini menjadi kekurangan yang dimiliki oleh HR di negara kita saat ini. Meskipun dalam menjalankan change management leader memiliki peran yang penting sebagai agen perubahan, namun tetap saja yang mengoperasionalkan adalah HR dan orang-orang yang ada di perusahaan. “Leader ini kan boleh dibilang sentralnya, tapi executionnya kan di HR, di employee. Nah sebelum sampai ke employee, ini harus ada organisasi yang bisa menterjemahkan, which is HR tim itu tadi”.
”Itu yang menurut saya di Indonesia seringkali tidak dimaksimalkan. HR Indonesia kan sering menjadi cuma kayak bagian personalia kan. They do administrative work, but they don’t have program to develop people. Nah ini juga jadi problem besar buat negara ini untuk bisa kompetitif. Because the role of HR seringkali belum sekuat apa yang diharuskan untuk sebuah perusahaan untuk kompetitif. That’s not the proper role, jangan hanya HR kehilangan fungsi sesungguhnya which is bagaimana bisa mendevelop orang supaya bisa lebih kompetitif”, papar Handry.
Apa yang diungkapkan oleh Handry boleh jadi memang menjadi hal yang harus disikapi dengan sungguh-sungguh bagi para pelaku HR. Karena dalam sebuah study dari Personnel’s Today dalam Employment Review yang mereka rilis, lebih dari empat per lima atau tepatnya 83% praktisi HR yang ikut ambil bagian mengatakan bahwa organisasi mereka telah mengerjakan inisiatif-inisiatif yang diperlukan dalam change management. Dimana seringkali inisiatif-inisiatif perubahan tersebut tidak didasari kepada elemen-elemen yang menyeluruh dan penting yang diperlukan didalam melakukan perubahan. Sehingga dapat mendorong perusahaan untuk memiliki competitive advantage.
”Bagaimana caranya? Macam-macam cara yang bisa diambil. Antara lain adalah make sure bahwa semua orang tersebut mengerti kenapa harus berubah. Dan tahu juga jawabannya kalau mau berubah untungnya buat mereka itu apa. Hal-hal itu seringkali tidak dilakukan oleh perusahaan ketika mereka mau berubah”, tambahnya.
Apakah itu cukup? Ternyata belum. Karena kelima hal ini harus dibandingkan dengan kondisi-kondisi yang terjadi di eksternal organisasi. ” Market sekarang seperti apa, customer, competition seperti apa. Tiga hal ini akan mempengaruhi sekali terhadap change ini. Seringkali mereka nggak tahu yang tiga di luar tadi”. Sementara itu, Meitriani Dian Utami, HR consultant dari Mercer mengatakan bahwa beberapa hal yang harus diperhatikan agar perubahan dapat berjalan dengan baik, yaitu: Pengambilan keputusan dalam hal Visi dan strategi, kecepatan dan kualitas pengambilan keputusan, partisipasi dan desentralisasi










DAFTAR PUSTAKA

Smither, Robbert D, et.all,( 1996 ), Organization Development, Strategies For
Changing Environment , Harper Collins, College Publisher,Inc.,New York
L. Tosi, Henry, et. All , ( 1988 ), Managing Organizational Behavior, Harper &
Row, Publisher, New York
Galpin, Timothy J. ( 1996 ), The Human Side of Change, Josey Bass Publishers, San
Fransisco, USA.
Heifetz, Michael L, ( 1995 ), Leading Change Overcoming Chaos , Abdul Majeed
& Co, Malaysia.
Firth, David, ( 1999 ), Smart Things To Know about Change, Capstone
Publishing, Ltd, USA
Eales-White, Rupert, ( 1994 ), Creating Growth from Change – How You react,
Develop and Grow, Mc Graw Hill International, Ltd
Maurer, Rick, ( 1996 ), Beyond the Wall of Resintance, Bard Book Inc, Texas, USA
Wustari Mangunjaya, ( 2001 ), Memanajemeni Perubahan di Organisasi, Dalam
Pengembangan Kualitas SDM dari Perspektif PIO, Bagian PIO Fakultas
Psikologi, Universitas Indonesia,
Sukanto & Hani Handoko, ( 1990 ), Organisasi Perusahaan, Teori, Struktur dan
Perilaku, BPFE, Yogyakarta
Wilson, Terry, ( 1994 ), A Manual for Change, Gower England
















 








 





   




Tidak ada komentar:

Posting Komentar